DaerahNews

Pembangunan Bandar Udara Maranggo Wakatobi Menyisakan Polemik Berkepanjangan

×

Pembangunan Bandar Udara Maranggo Wakatobi Menyisakan Polemik Berkepanjangan

Sebarkan artikel ini
Ketgam : Fitrijansjah Toisutta, S.H, Kuasa Hukum (kiri),, La Molu Tokoh Adat (kanan).

MEDIASULTRA.CO.ID I KENDARI – Kuasa hukum pemilik lahan bandar udara Maranggo yang terletak di Desa Teemoane dan Kelurahan Patipelong, Kecamatan Tomia, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) gelar konferensi pers, Kamis (9/10/2025).

Fitrijansjah Toisutta, S.H menyatakan bahwa dirinya mendapat kuasa dari salah satu tokoh adat yaitu La Molu, berdasarkan surat kuasa nomor : 013/ft-sk-non_lif-pid-per-prof/V/25 tanggal 7 Mei 2025.

Dalam konferensi pers tersebut Fitrijansjah Toisutta, S.H menjelaskan bahwa telah terjadi dugaan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh PT. Wakatobi Resort, Bupati Kabupaten Buton dan Ketua DPRD Kabupaten Buton pada tahun 2000.

“Awal kejadiannya yaitu pada tahun 1999 PT. Wakatobi Resort, BPN dan Bupati Buton serta DPRD Kabupaten Buton melakukan upaya pendekatan kepada masyarakat untuk melakukan pengukuran lahan masyarakat yang akan digunakan untuk pembangunan bandar udara Maranggo,” jelas Fitrijansjah.

Saat melakukan pendekatan kepada masyarakat, lanjut Fitrijansjah, PT. Wakatobi Resort, BPN dan Bupati Buton serta DPRD Kabupaten Buton menyatakan akan membuatkan Sertifikat kepada pemilik tanah adat yang ada di lahan bandara tersebut.

“Setelah dilakukan pengukuran, tahun 2000 muncullah MoU yang dilakukan ketua DPRD Kabupaten Buton, Bupati Buton serta Direktur PT. Wakatobi Resort untuk membuat MoU yang berisikan tentang pembayaran atas hak-hak tanah ulayat atau tanah adat Klien kami yang mana pembayaran tersebut akan dilakukan pada tahun 2000. Namun sampai hari ini pembayaran yang di maksud belum sampai ke tangan klien kami. Kemudian pada tahun 2002 muncullah Sertifikat Pengelolaan Nomor : 21.03.05.11.4.00001 yang dimohonkan oleh Pemkab Kabupaten Buton ke BPN Buton berisikan tentang Sertifikat tersebut adalah aset Kabupaten Buton.

Sertifikat inilah diduga menjadi bukti yang sah menurut mereka bahwa sudah ada transaksi pembayaran kepada para pemilik tanah,” ungkapnya.

Untuk itulah, lanjutnya, selaku kuasa hukum dirinya telah melakukan langkah-langkah hukum dengan memberikan somasi kepada PT. Wakatobi Resort, Bupati Kabupaten Buton dan Ketua DPRD Kabupaten Buton dan sampai hari ini belum ada jawaban.

“Karena sampai hari ini klien kami belum menerima pembayaran atas lahan yang sekitar 20 ha tersebut, maka kami menduga, kerugian materiil yang terjadi pada klien kami sebesar kurang lebih 312 miliar , sedangkan kerugian imaterialnya sebesar kurang lebih 104 miliar, jadi totalnya sekitar 400 miliar. Untuk itu kami meminta kepada Wakatobi Resort, Bupati Buton dan Ketua DPRD Buton untuk melakukan pembayaran ganti rugi atau ganti untung kepada klien kami, karena yang melakukan penandatangan MoU saat itu bukan atas nama pribadi, melainkan atas nama lembaga,” terangnya.

Ditanya terkait transaksi yang dimaksud sudah dilakukan oleh pihak PT. Wakatobi Resort, Fitrijansjah Toisutta, S.H menjelaskan bahwa, piha PT. Wakatobi Resort mengklaim sudah melakukan pembayaran.

“Pihak PT Wakatobi Resort mengklaim kalau sudah melakukan pembayaran ganti rugi, namun bukan kepada klien kami, tapi diberikan kepada oknum-oknum pejabat Pemkab Buton. Dan mereka ini bukan kuasa dari klien kami sehingga mereka tidak punya hak untuk menerima pembayaran. Artinya hak-hak klien kami belum didapatkan sampai hari ini,” ujarnya.

“Karena sampai hari ini belum ada jawaban dari somasi yang kami berikan, maka minggu depan kami akan mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum Pasal 1365 ke Pengadilan Negeri di Wangi-Wangi (Wanci) Kabupaten Wakatobi,” pungkasnya. (Red).

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *